Privilege yang paling jarang dibicarakan dan eugenika terselubung.

Trigger Warning: eugenik, ableisme, menyebutkan bunuh diri

.

.

.

Sehari yang lalu, sebuah pembicaraan tentang surrogate mother muncul di Twitter Indonesia. Saya tidak berpikir untuk ikut membahas tersebut. Tetapi tentu saja karena bentuk Twitter memberi kesempatan orang untuk mengutarakan opininya (walau opini itu tidak ada yang minta). Sebuah user berkata bahwa toh sang bayi tidak bisa memberi consent, apalagi yang masih fetus. Jika di-screening, tidak masalah untuk diaborsikan karena,

“Jangankan cacat, orang normal hidup di dunia tapi minim privilege aja udah sulit apalagi dengan kecacatan.”

Wow… sebagai seorang disabilitas. Saya suka melihat ironi dari pengobjektivitasan orang-orang disabilitas demi “kebaikan” kami. Seakan sang user lebih tahu apa yang kita alami dan struggle yang kita lalui, sehingga sang user yang bisa menentukan apa yang harus menjadi struggle kita.

Inilah realita yang orang disabilitas alami. Kita adalah kelompok marginal diantara kelompok marginal dan tanpa orang abled (nondisabilitas) sadari, mereka telah merampas suara kita untuk memperjuangkan hak mereka. Saya sendiri tidak masalah dengan aborsi. Jika sang ibu seorang minor, memiliki penyakit hereditary (bukan genetik) yang membahayakan sang ibu dan bayi bahkan sebelum sang bayi sempat mempelajari kata pertamanya, atau jika sang ibu adalah korban kekerasan seksual. Yag pastinya selama aborsi itu etis dan memang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan sang ibu dan anak kedepannya kelak.

Orang disabilitas juga ada yang pro-aborsi. Tetapi yang dimasalahkan bukan aborsinya. Tetapi bias terhadap suatu kaum marginal sehingga hidup kita dan hak hidup kita lebih rendah dari orang lain. Ini bukan tentang kesejahteraan siapapun, ini adalah egois.

“Tapi orang disabilitas akan hidup kesusahan—“

Semua orang akan kesusahan. Itulah hidup. Kita sebagai seorang disabled sangat sadar itu.

“Bagaimana jika mereka dikucilkan dan menjadi bergantung dengan orang lain?”

Inilah dimana anda harus mempelajari ulang apa yang anda pahami tentang bagaimana dunia ini bekerja. Apalagi sebagai orang yang “peduli dengan orang-orang yang mempunyai privilege kurang” harus dipelajari lagi mengapa dunia harus bergerak seperti itu? Mengapa ada kelas-kelas? Mengapa ada orang yang tidak mendapat hak yang sama? Mengapa, orang disabilitas tidak dianggap sebagai manusia atau dianggap setengah manusia sehingga keberadaan kita hanya sebatas bernapas dan berjuang untuk hidup sampai menunggu ajal?

Faktanya manusia itu lebih hebat dari yang orang anggap. Kita bisa beradaptasi dari disabilitas kita dan mendapatkan benefit baru yang orang abled tidak bisa rasakan. Otak ktia dan seluruh tubuh kita mengakomodasikan untuk kita. Tetapi walaupun kita masih berjuang dengan disabilitas kita, harus bertanya lagi.

Kenapa kita hanya menilai kepantasan seseorang dari apa dia berguna atau tidak?

Kenapa kepantasan seseorang menggunakan tolak ukur yang hanya bisa diterima dari kelompok abled dan neurotipikal?

Apa pernah berpikir begitu? Saya bukan berkata orang disabled tidak berguna. Dari awal saya bilang kita bisa adaptasi dengan disabilitas kita. Juga, alaminya orang tidak mau tidak berkontribusi untuk masyarakat. Kita secara alaminya manusia yang sosial dan kita semua punya aspirasi dalam hidup ini. Tetapi mengapa mayoritas tidak memahami bahwa kita dapat membuat standar itu sendiri. Jadi, apa susahnya mengangkat bias terhadap kita, hanya karena kita berbeda?

Apa tidak pernah bertanya, kok orang disabilitas yang dikucilkan malah mereka yang disalahkan. Bukan masyarakat yang diskriminatif dan opresif. Kalian mempunyai tubuh abled dan otak neurotipikal itu sebuah privilege tersendiri dan ignorant terhadap isu kami adalah sebuah privilege juga. Privilege karena bisa diterima oleh mayoritas dan kebal kritik. Harus diterima bahwa ada orang yang lebih diopresi dari anda dan anda tidak berhak mengatakan apa yang boleh kita lalui dan tidak.

“Terus gimana kalau kita membiarkan orang melahirkan bayi cacat mulu?”

Apa faktanya seperti itu? Apa benar? Tidak. Kemungkinan seorang anak lahir disabled seperti ortunya tetap tidak mempungkiri anaknya akan lahir abled atau neurotipikal. Kemungkinan itu masih ada. Artinya, tidak ada masalah jika seorang bayi lahir disabled. Bukan salah dia atau orang tua dia sistem belum memberi aksesibilitas untuk bayi yang lahir disabled. Toh, mereka tumbuh tidak bisa dikendalikan. Seseorang yang lahir abled juga bisa disabled suatu saat dalam hidupnya.

“Ya, jangan, dong! Mending aku mati daripada–”

Karena retorika dan narasi bahwa disabled memberi harapan hidup, anda termakan stigma tragedi. Apa anda mau hidup terbelenggu sebuah persepsi yang belum tentu benar? Apa anda mau hidup dalam kepesimisan seperti itu? Justru mindset itu yang menahan seseorang untuk berkembang. Dengan menganggap kita rendah atau bukan manusia, anda secara tidak langsung berkontribusi dalam eugenik. Sebuah paham dimana untuk meningkatkan spesies manusia, harus menggunakan ciri genetik yang tertentu. Jika anda pernah mengalami diskriminasi identitas, anda harusnya paham bahwa eugenik itu ada di berbagai kalangan. Tidak hanya pada orang disabilitas, orang dari kalangan ras tertentu atau suku tertentu mengalami ini. Maka ada beberapa suku atau bangsa yang tidak mau menikah dengan suku atau bangsa lain karena merasa gen dan budaya mereka paling superior. Belum lagi seleksi kelas. Tetapi para eugenicist tidak tahu bahwa variasi gen berguna untuk melahirkan generasi yang kuat dengan perubahan lingkungan dan perubahan lain yang sains sendiri belum paham atau pelajari.

Selain itu, masalah disabilitas mayoritas datang dari masyarakat abled. Karena mereka yang menggunakan kekuatan jumlah dan kelas untuk menahan kita dari aksesibilitas yang kita minta dan butuhkan. Asumsi bahwa kita tidak akan berguna, standar norma dan nilai yang tidak inklusif, dan kompetisi kapitalis yang secara tidak langsung mendukung strata kelas bukannya kesejahteraan atas semua orang. Kita disabled bukan berarti kita tidak punya autonomi. Bukankah seharusnya semua orang begitu? Kalian tidak bisa meminta kita untuk berjuang tapi tidak mengkoreksi opresi sistemik yang menahan kita. Kalian tidak bisa meminta kita untuk berjuang tapi tidak berpartisipasi dalam struktur sosial yang lebih baik.

Saya burnt out dan mendapat diagnosa bipolar, setelah itu OCD dan saya masih mencari-cari treatment yang tepat. Saya beberapa kali dibungkam saat saya berkata saya autistik dan orang autistik butuh treatment yang berbeda, terapis dan dokter yang paham dengan kita—bukan hanya melihat kita dari permukaan dan perilaku kita—dan harus memaklumi kita akan membutuhkan pendekatan yang berbeda. Saya tidak membutuhkan bias dari tim profesional, tidak jika mereka mememiliki kekuatan lebih dalam medikasi dan perawatan lain. Apa itu fair? Apa karena mereka profesional saya tidak berhak mengkritik mereka? Saya seperti dipenjara dalam masyarakat sendiri dan hanya diberi porsi untuk akomodasi yang saya butuhkan karena “saya tidak tahu kondisi saya sebenarnya”. “Saya tidak paham dengan kondisi saya”, “saya masih termasuk high functional jadi saya tidak butuh terapis, hanya medikasi”, “saya perlu positif thinking aja dan minum obat tidur sebelum tidur”.

Saya tidak akan menulis ini jika saya tidak sadar akan realita yang saya lalui. Apa orang seperti saya harus terus dibungkam? Untuk apa? Sistem ini… seperti genosida terselubung. Berlangsung lama, haislnya depresi dan bunuh diri dan yang disalahkan adalah kita.

70%-80% orang autistik meninggal karena bunuh diri. Orang disabilitas secara general empat kali lebih rentan untuk bunuh diri. Karena stres, karena social pressure, karena suara mereka yang dibungkam saat mereka ingin mengkomunikasikan apa yang salah. Ini genosida dari masyarakat yang menggagalkan kita. Jangan berkontribusi kepadanya dengan cara meng-gaslight kita—memanipulasi kita–dan berkata, “ini demi mereka, kasian mereka”.

Published by wandervergent

Seorang autistik dewasa yang juga mempunyai Bipolar Disorder, OCD, dan C-PTSD. Mahasiswa Sosiologi bangkotan. Saya suka menulis dan melukis.

2 thoughts on “Privilege yang paling jarang dibicarakan dan eugenika terselubung.

  1. Halo kak, tulisan-tulisan kakak adalah sudut pandang baru dan sangat bermanfaat bagi saya, terima kasih banyak.
    Maaf kalau lancang, tapi saya juga ingin banyak membaca tulisan2 kakak kedepannya 🙂
    Saya nantikan ya kak.

    Liked by 1 person

    1. terima kasih banyak, Hanun. Karena kapasitasku sebagai orang autistik, aku kadang tidak terlalu bisa aktif, tetapi aku akan coba untuk terus berkontribusi. Kata-katamu membuatku lega dan senang masih ada yang mau membaca. Terima kasih, ya

      Like

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started