Autisme dan Empati: Sebuah Curhatan Seorang Autistik dengan Aleksitimia dan Indera Interoception yang Berbeda

Saya memiliki Aleksitimia (alexithymia). Sebuah kondisi, bukan diagnosa, yang dimiliki sebagian orang autistik dan allistik (dengan perbedaan level yang variatif) dimana kita kesulitan membaca emosi. Untuk kebanyakan orang autistik yang memiliki perbedaan sensorik, perbedaan di indera interoception (indera yang memberi tahu tentang kondisi organ dalam) menjadi faktor utama[1].

Saya jelaskan. Setiap emosi akan memberikan respon dalam organ tubuh kita (saat sedih, air mata keluar dan kita menangis. Saat marah darah kita berdesir. Saat takut atau gugup jantung berdegup kencang) dan seseorang dengan isu interoception akan kesulitan mengidentifikasi emosi apa yang mereka alami karena kadang tubuh mereka tidak memberi signal yang sama. Kadang signal itu kencang dan kadang ibarat kita harus naik pohon dulu buat menambah satu bar. Dengan ini juga pemahaman anak terhadap emosi dan bagaimana mengekspresikannya akan berbeda dari anak non-aleksitimik.

Novel yang menceritakan tentang aleksitimia dengan seseorang allistik adalah Almond, oleh Won-Pyung Sohn (seorang penulis neurotipikal) dan walau saya suka plot-nya, karena yang menulis bukan seseorang yang mempunyai aleksitimia, tentu saja interpretasi karakternya stereotipikal dan terlalu mengikuti teori ketimbang praktek atau bukti empirik. Tetapi saya apresiasi sang penulis mencoba mempelajari tentang aleksitimia sebisa mereka walau memang penelitian terhadap kondisi itu masih kurang. Saya juga belajar dari buku itu bahwa studi mengatakan amygdala yang kecil berpengaruh pada tingginya potensi aleksitimia seseorang[2]. Maka dari itu, judulnya Almond, karena bentuk amygdala kayak kacang almond (bentuknya saja, ya. Saya tidak tahu tentang ukurannya) yang berada tepat di tengah sistem lymbic (area di otak, tepat di tengah yang mengontrol emosi).

Tetapi, sama seperti karakter utama di novel Almond, orang aleksitimia mendapat stereotip bahwa kita adalah orang yang dingin dan jauh secara emosional. Padahal, tidak bisa membaca emosi bukan berarti tidak punya emosi, kan? Belum lagi karena teori The Theory of Mind yang mengatakan orang autistik tidak mempunyai empati yang sebenarnya teori itu sudah terbongkar salah[3]. Saya rasa ini sangat ngena dengan pengalaman saya. Karena saya mendapat impresi “dingin” tetapi kadang juga “lembut” secara bersamaan dari orang-orang sekitar saya. Ini bukan masalah kamuflase atau tidak. Tetapi ini ada hubungan dengan bagaimana aleksitimia membuat cara saya meregulasi emosi dengan cara yang berbeda. Hal ini yang kadang membuat saya tertegun apa ini ada hubungan dengan bipolar saya atau menjadi salah satu penyebab bipolar saya juga.

Seorang yang sangat sensitif secara emosional, “Highly Sensitive Person”, disebut memiliki kondisi Sensory Process Sensitivity/Sensitivitas Proses Indera. Artinya, emosi sangat terpikat dengan indera seseorang. Jadi, sangat memungkinkan seorang yang memiliki perbedaan indera interoception, juga memiliki hypersensitivitas sensorik juga. Contohnya seperti ini: Saya beberapa kali migrain seharian. Saya kira karena maag atau eye strain melihat layar terus, tetapi minum painkiller dan antacid tetap saja migrain. Saya sudah minum tolak angin juga dan memijat-mijat, tetapi sampai akhir hari saya masih migrain… sampai saya mau tidur dan semua emosi tumpah. Saya menangis kejer-kejer dan migrain saya hilang.

Konteks keseluruhan, saya memang hari itu cekcok dengan seseorang. Saya dituduh sesuatu yang bukan. Saya tahu saya sedikit cemas dan tegang, tetapi saya tidak tahu saya akan se-“bete” itu.

Ada juga waktu dimana saya harus memaksa untuk nangis atau tertawa keras agar tidak mual. Karena emosi yang saya rasakan tidak tersalurkan ke organ tubuh yang berguna untuk mengekspresikannya dan kadang menumpuk menjadi sebuah beban di hati atau perasaan yang rumit. Seumur hidup, karena tidak ada keseimbangan antara persepsi terhadap mood-mood saya dengan reaksi somatik(tubuh), emosi adalah sebuah konsep yang misterius kebanyakan waktu.

Saya jadi bertanya, apakah saya memang tidak punya empati? Tetapi bagaimana seorang mempunyai empati terhadap orang lain jika mereka tidak paham orang lain itu juga? Apa benar empati hanya mengandalkan insting atau intuisi? Lalu bagaimana jika kita bertemu dengan orang asing. Apalagi yang memiliki identitas yang berbeda dari kita dan perbedaan privilege. Apa anda pernah bertanya apa anda sendiri punya bias internal terhadap identitas seseorang? Misal terhadap perbedaan kelas, kasta dalam sesasam etnis, gender, atau perbedaan neurotipe. Jika memang empati hanya perlu mengandalkan intuisi, tentu tidak akan ada konflik dan prejudis di dunia ini.

Jadi saya sadar, empati itu sesuatu yang cair. Bukan hitam-putih “ada” dan “tidak ada”. Kita semua punya level empati yang berbeda. Emosi dan empati, dua sisi di koin yang sama, memang masih menjadi enigma bagi para ahli tetapi ada tiga jenis empati yang terkenal. Empati kognitif/cognitive empathy (memahami emosi seseorang secara intelektual atau pengetahuan), empati emosi/emotional empathy (empati yang paling sering orang pahami jika ditanya “apa itu empati?” yaitu memahami emosi orang lain dan merasakan emosi itu sendiri), dan yang terakhir empati iba/compassionate empathy (memahami emosi seseorang sehingga terpicu untuk bergerak dan melakukan sesuatu untuk menyeimbangkan emosi orang tersebut).[4]

Orang aleksitimia dikatakan memiliki kekurangan dalam empati emosi. Logikanya, jika saya memiliki kesulitan memahami emosi yang saya rasakan, bagaimana saya dapat merasakan emosi orang lain? Tetapi saya tidak malu terhadap itu. Juga, plastisitas otak (kemampuan otak untuk berubah), sosialisasi oleh lingkungan dan komunitas, serta edukasi berpengaruh besar terhadap bagaimana seseorang memahami sesuatu dan itu termasuk meningkatkan empati mereka. Jikalau saya masih dianggap memiliki empati emosi yang “rendah” atau “tidak sesuai standar”, saya masih bisa berkata saya punya moral dan prinsip.

Juga, yang sebenarnya paling dibutuhkan dan merupakan tingkat empati yang tertinggi adalah “compassionate empathy” yang belum tentu hadir hanya lewat intuisi, tetapi juga lewat pengetahuan. Oke, walau memang secara emosi saya susah mengidentifikasi, tetapi dengan memahami masalah, saya tahu bahwa saya harus membantu orang itu. Bahkan, melihat dari pengalaman saya sebelum-sebelumnya… saya cenderung ‘terlalu’ membantu orang lain dan yang seperti saya sebutkan sebelumnya, saya bisa sangat sensitif sehingga saya terheran-heran bagaimana orang lain tidak merasa gelisah melihat perlakuan yang tidak adil atau kejam.

Menariknya, banyak orang autistik yang mengalami hal yang sama. Secara pola pikir, orang autistik cenderung pemikir yang dalam, secara literal, spesifik, dan tertarik pada pola. Sehingga jika mereka melakukan sesuatu, mereka akan sangat bersungguh-sungguh pada prinsip yang mereka pegang teguh dan pikir matang-matang. Menurut saya sendiri, jika memang saya harus berbaik hati dan bukankah menolong orang harus semaksimal mungkin? Lalu, saya masukkan pola karena saya menemukan pola komunikasi dimana kita berbaik hati kita akan mendapat kebaikan juga. Walau cara saya berkomunikasi sering tersalah-kaprahkan sebagai bentuk hal lain yang akan membuat saya malu atau sedih karena niat saya tidak tersampaikan. Maka dari itu seringnya sifat bersungguh-sungguh orang autistik distereotipkan sebagai emosian, sensi (konotasi negatif), “baperan”, keras kepala, ngotot, pemarah, dsb. Jika ada seorang autistik yang pendiam, terutama stereotip pada autistik perempuan, ia akan dicap lugu atau mudah disalah-gunakan kebaikannya itu.

Tetapi coba kali ini anda, kawan allistik, yang berempati terhadap kita ketimbang selalu menuntut kami untuk berempati kepada anda. Pengetahuan bahwa kita harus menolong orang adalah pengetahuan umum. Artinya, mau autistik atau allistik, tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Tetapi karena kebanyakan orang hanya menganggap empati adalah empati emosional, orang autistik diasumsikan memiliki empathy impairment/gangguan empati. Padahal bisa jadi orang autistik yang ada disekitar anda memiliki hati yang sangat lembut dan berusaha keras untuk melakukan apa yang menurutnya baik. Menerima perbedaan cara adalah langkah pertama untuk memahami bentuk empati seorang autistik.

Selanjutnya yang seharusnya kita fokuskan adalah terus memiliki keinginan untuk memahami orang lain dan introspeksi diri. Karena, setiap manusia adalah tempatnya kesalahan.

Untuk para pembaca autistik, memang saya sudah panjang lebar menjelaskan bagaimana orang autistik sebenarnya empatetik, tetapi jangan berkecil hati terhadap persepsi orang lain. Berbangga diri terhadap apa saja yang telah kamu berikan pada orang lain dan fokus untuk mencintai dirimu, termasuk identitas autistikmu.

Ada beberapa tips untuk membantu regulasi emosi dan membantu indera interoception-nya. Menggunakan konsep mindfulness membuat kita lebih “grounded” (dari kata literal berpijak) atau seimbang dan memiliki kesadaran penuh terhadap energi, fungsi tubuh, emosi, dan pikiran. Mempraktekan journaling, berkarya seni, membaca buku, yoga, dan meditasi adalah beberapa diantara teknik mindfulness itu.

Referensi:

Pertama diterbitkan di: https://www.facebook.com/pemudaautisme

Published by wandervergent

Seorang autistik dewasa yang juga mempunyai Bipolar Disorder, OCD, dan C-PTSD. Mahasiswa Sosiologi bangkotan. Saya suka menulis dan melukis.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started